#footer-column-container clear:both; } .footer-column { padding: 10px; }

23 Februari 2009

Menilik Kampanye Partai Politik


PEMILIHAN Umum (pemilu) 2009 yang akan berlangsung diprediksikan akan lebih semarak dibanding pemilu-pemilu sebelumnya. Ada beberapa indikator yang memperkuat asumsi ini. Faktor pertama adalah masa kampanye yang disediakan lebih panjang dari masa kampanye pemilu-pemilu sebelumnya. Faktor kedua, karena jumlah partai politik (parpol) yang berjumlah 38 atau meningkat 12 parpol dibandingkan pemilu 2004. Jumlah ini masih dianggap banyak meski tidak sebanyak peserta Pemilu 1999 yang mencapai 48 parpol. Masa kampanye yang terbentang sejak 6 Juli 2008 hingga minggu tenang menjelang "hari pencontrengan", 9 April 2009, dinilai mempunyai sisi negatif maupun positif. Waktu yang panjang ini dinilai positif ketika masyarakat menggunakannya secara efektif untuk menilai figur parpol dan calon legislatif (caleg) yang akan menjadi wakil mereka di Senayan. Kesalahan dalam memilih calon tentu bisa diminimalisasi. Sebaliknya, mereka yang menilai negatif lamanya kampanye biasanya mengajukan argumen pemborosan. Alasan lain yang dikemukakan adalah hanya parpol yang bermodal kuat yang diuntungkan dengan panjangnya masa kampanye. Parpol dengan dana "Senin-Kamis"-umumnya didominasi parpol-parpol kecil-akan kehabisan "bensin" sebelum masa kampanye berakhir.

Lamanya masa kampanye bagi pengawas pemilu bukanlah masalah besar. Belajar pada pemilu-pemilu sebelumnya, pelanggaran tidak pernah absen selama masa kampanye (omnipresent). Panwaslu dengan dukungan partisipasi masyarakat selalu dapat melakukan pengawasan terhadap setiap penyimpangan yang dilakukan parpol. Jika panwaslu dapat menganalisis dan membaca tren pelanggaran, maka pengawas dapat mencegah segala bentuk pelanggaran dan tindak pidana pemilu.

Dari sejumlah tren pengawasan pada pemilu-pemilu yang telah lewat bentuk pengawasan harus lebih terkonsentrasi pada kampanye parpol yang tidak pada tempatnya. Contohnya ketika rapat terbuka belum diizinkan, parpol berupaya dengan segala cara melakukan pengerahan massa. Lihat saja malam takbiran, 1 Syawal lalu, larangan pawai takbir keliling yang dikeluarkan oleh Gubernur DKI tidak efektif. Penyimpangan lain yang dengan kasatmata mudah terlihat adalah pemasangan alat peraga di tempat terlarang. KPU DKI Jakarta telah mengeluarkan SK No 10 mengenai 25 titik daerah terlarang pemasangan alat peraga. Umumnya adalah jalan-jalan nasional dan jalan provinsi. Alhasil larangan ini kurang memiliki arti karena hampir semua parpol seenaknya menaruh alat peraga di lokasi terlarang.

Penyimpangan lain yang kadang luput dari pengawasan adalah parpol tidak melakukan kampanye atau minim kampanye. Tidak melakukan kampanye dapat dikategorikan sebagai penyimpangan. Kampanye bukan hanya hak, tetapi kewajiban parpol untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat. Dalam pasal 10 poin (2) UU No 2/2008 tentang Partai Politik disebutkan bahwa fungsi parpol itu untuk meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan. Parpol juga berkewajiban memperjuangkan cita-cita parpol dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara serta membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kampanye tentunya digunakan agar tujuan parpol yang telah tertuang dalam UU tersebut dapat terwujud. Kampanye selain sebagai hak parpol untuk mencari calon pemilih, juga merupakan kewajiban sebagaimana yang disebutkan di atas. Terkait dengan cita-cita parpol, tentu parpol mempunyai ideologi yang harus selalu diperjuangkan sepanjang tidak bertentangan dengan ideologi bangsa. Dengan fungsi ini parpol tidak hanya berjuang mencari suara mengambang (swing voters) potensial dengan hanya mengandalkan citra semata, apalagi hanya mengandalkan figur ketua umum dan artis. Parpol seyogianya menjadi sarana pembelajaran politik: mengikat calon pemilih dengan ideologi yang telah ditetapkan parpol. Parpol yang belum terlihat aksinya layak untuk dipertanyakan keseriusannya dalam mengikuti pemilu mendatang. Jangan-jangan terjadi kesalahan dalam proses verifikasi, sehingga parpol-parpol tersebut bisa lolos menjadi peserta Pemilu 2009. Proses verifikasi parpol dilakukan tanpa pengawasan panwaslu, karena panwaslu saat itu masih belum terbentuk. Padahal sebelum proses verifikasi parpol dilakukan, panwaslu sudah harus dibentuk untuk melakukan pengawasan. Dalam UU/2008 tentang Pemilu Pasal 18 poin (1) disebutkan bahwa Bawaslu, panwaslu provinsi, dan panwaslu mengawasi pelaksanaan verifikasi partai politik calon peserta pemilu yang dilaksanakan KPU hingga tingkat kabupaten/kota. Ketidakhadiran Bawaslu dan panwaslu tentu cukup menyulitkan karena tidak bisa melihat proses verifikasi yang memungkinkan untuk menemukan kesengajaan atau kelalaian yang dilakukan oleh anggota KPU sehingga dapat merugikan atau menguntungkan parpol calon peserta pemilu. Salah satu hal yang sangat riskan adalah jumlah anggota dan pengurus, seperti persyaratan dalam Pasal 8 UU No 2/2008 berkaitan dengan persyaratan verifikasi partai politik. Pada ayat 1 butir e persyaratan 1. 000 orang dari 1/1000 orang dari jumlah penduduk pada setiap kepengurusan partai yang menjadi permasalahan. Panwaslu belum hadir saat itu, sehingga potensi untuk tidak memenuhi syarat, tetapi diloloskan KPU dapat terjadi. Ini yang menyebabkan munculnya partai gurem yang sebenarnya tidak mempunyai potensi untuk melaksanakan fungsinya sebagai parpol.

Mendirikan parpol tidak hanya sebagai hak, namun juga terikat dengan kewajiban yang harus dilakukan, apalagi parpol sudah disahkan untuk ikut pemilu. Parpol didirikan bukan untuk kepentingan pribadi, apalagi digunakan sebagai alat untuk politik "dagang sapi" pemilihan umum. Sebagaimana diketahui, parpol selama Memerhatikan mempunyai basis massa dapat saja mengklaim dukungan rakyat. Persyaratan jumlah dukungan terhadap partai politik dapat menjadi bargaining position dalam Pemilu 2009. Kemungkinan ini pantas diwaspadai, apalagi untuk menentukan pasangan calon presiden dan wakil presiden pada UU Pemilihan Presiden mendatang mengikutsertakan jumlah suara yang tidak mempunyai kursi di DPR. Dengan begitu, mungkin saja parpol yang mempunyai suara kecil dan tidak berperan dalam proses pendidikan politik pun bisa "bermain" atau "memperdagangkan" suara yang telah diperoleh. Maka partai yang hanya bermodal terdaftar sebagai peserta pemilu bisa "bermain" mengambil kesempatan dengan "menjual" suara. Akhirnya mereka bisa minta "kompensasi" politik lain. Padahal mereka tidak memberi sumbangan dalam membangun etika dan budaya politik, salah satunya dengan kampanye. Karena itu masyarakat harus kritis, tidak hanya pada partai yang melakukan kampanye yang melebihi porsi, tapi juga pada partai yang tidak pernah berusaha sama sekali untuk menyampaikan visi dan misi parpol dalam kampanye. Jika parpol mau menepis anggapan buruk itu, masih banyak waktu untuk perbaikan. (*)

Sumber : pemilu. okezone. com

0 komentar:

Posting Komentar

Tu comentario será moderado la primera vez que lo hagas al igual que si incluyes enlaces. A partir de ahi no ser necesario si usas los mismos datos y mantienes la cordura. No se publicarán insultos, difamaciones o faltas de respeto hacia los lectores y comentaristas de este blog.